OPINI: Penyu Mati dan Alarm Kegagalan Pengelolaan Sampah

ꦲꦼꦄꦣ꧀ꦭꦶꦤꦺ


Minggu (3/8/2025) Tim SAR Pantai Baru, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menemukan seekor penyu mati. Mulutnya penuh dengan plastik. Tim SAR meyakini penyu tersebut mati karena terlalu banyak mengonsumsi sampah plastik yang mengambang di laut.

Kejadian penyu mati menelan plastik di Pantai Baru ini bukan kali pertama. Juga di pantai-pantai daerah lain di Indonesia. Kabar-kabar serupa telah berkali-kali menghiasi linimasa media sosial, tayangan berita, dan laporan para aktivis lingkungan. Seolah-olah kematian satwa laut karena sampah sudah menjadi bagian dari “realitas biasa” di negeri maritim ini.

Titik Refleksi

Ironi besar. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Namun, juga menyandang predikat kelam sebagai penyumbang sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia, setelah Tiongkok.

Laporan dari Jambeck et al. yang dikutip berbagai sumber menyebutkan bahwa Indonesia menghasilkan lebih dari 3,2 juta ton sampah plastik setiap tahunnya, dengan sekitar 1,3 juta ton di antaranya mengalir ke laut. Ini bukan sekadar angka, tapi refleksi dari sistem pengelolaan sampah yang buruk dan kesadaran publik yang rendah.

Kematian penyu di Pantai Baru seharusnya menjadi titik refleksi. Bukan hanya sekadar berita yang lewat. Ia adalah simbol dari ekosistem yang kewalahan menampung limbah manusia. Ia adalah bukti nyata bahwa cara kita memperlakukan sampah masih sangat keliru, baik dari sisi kebijakan maupun perilaku sehari-hari.

Masalah utama kita adalah cara berpikir tentang sampah. Banyak dari kita, baik individu maupun institusi, masih melihat sampah sebagai sesuatu yang “harus dibuang”, bukan sesuatu yang “harus dikelola”. Akibatnya, sampah hanya berpindah tempat, dari dapur ke tong, dari tong ke truk, lalu dari truk ke sungai atau ke laut. Padahal, pengelolaan sampah yang ideal harus dibangun di atas dua prinsip utama: pengurangan dan penanganan.

Pengurangan: Mulai dari Sumbernya

Pengurangan sampah berarti mengurangi timbulan dari sumbernya, yaitu manusia. Artinya, kita harus membatasi penggunaan plastik sekali pakai yang menjadi biang kerok pencemaran laut. Edukasi yang lebih intens harus dilakukan bahwa saatnya kita mulai dari diri sendiri. Dan mulai saat ini juga.

Kita bisa memulainya dengan membawa tas belanja sendiri. Tidak meminta kantong plastik di toko atau warung. Membawa botol minum isi ulang, menggunakan wadah makanan yang dapat dipakai ulang, hingga menghindari pembelian produk dengan kemasan berlebih. Sekilas terlihat sepele, namun jika dilakukan berjamaah, dampaknya sangat besar.

Pemerintah juga memiliki peran krusial dalam pengurangan ini.  Pemda DIY maupun pemerintah kabupaten/kota sepertinya tidak boleh menunda untuk segera menerapkan larangan penggunaan plastik sekali pakai.

Kebijakan pelarangan plastik sekali pakai yang telah diterapkan di beberapa daerah harus diperluas dan ditegakkan dengan serius. Industri juga harus diminta bertanggung jawab atas kemasan produknya melalui skema Extended Producer Responsibility (EPR), agar tidak hanya memproduksi tapi juga ikut mengelola limbahnya. 

Memindahkan Masalah

Sementara itu, penanganan sampah adalah soal bagaimana kita mengelola apa yang sudah terlanjur menjadi limbah. Dan yang perlu ditekankan: penanganan bukan berarti memindahkan sampah ke kali, ke selokan, atau ke pantai. Sungai bukan tempat sampah berjalan, dan laut bukan halaman belakang tempat menyingkirkan masalah.

Penanganan yang ideal harus dimulai dari pemilahan di sumber: memisahkan antara organik, anorganik, dan residu. Sampah organik bisa dikomposkan. Sampah anorganik seperti plastik, kertas dan logam bisa didaur ulang atau dijual ke bank sampah. Sementara residu yang tidak bisa didaur ulang harus ditangani dengan teknologi yang tepat, bukan dibuang sembarangan.

Fasilitas pengolahan sampah berbasis komunitas seperti Bank Sampah atau TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle) harus diperbanyak dan ditingkatkan kapasitasnya. Pemerintah daerah perlu memperkuat manajemen persampahan berbasis komunitas ini. Jangan lagi membiarkan warga melempar sampah ke sungai, yang kemudian hanyut ke laut dan dimakan oleh penyu, ikan, atau bahkan kembali ke meja makan kita dalam bentuk mikroplastik.

Dari Penyu ke Manusia

Jangan salah, apa yang terjadi pada penyu hari ini bisa terjadi pada kita di masa depan. Riset menunjukkan bahwa mikroplastik kini telah ditemukan dalam air minum, ikan, garam laut, bahkan dalam darah manusia. Artinya, kita sedang memakan kembali limbah plastik yang kita kirim ke alam. Lingkaran ini tidak akan berhenti sampai kita mengubah perilaku.

Kematian seekor penyu memang tidak akan mengguncang negara ini. Tapi jika kita terus mengabaikan sinyal-sinyal dari alam, maka giliran manusia yang akan menjadi korban berikutnya. Air laut yang tercemar, perikanan yang menurun, pariwisata yang lesu, hingga bencana ekologis yang lebih besar akan menanti di depan.

Sudah saatnya kita keluar dari siklus destruktif ini. Mengelola sampah dengan benar bukan pilihan, melainkan keharusan. Dan itu dimulai dari hal yang paling sederhana: tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi plastik, dan memperlakukan alam dengan hormat. Jika tidak, mungkin generasi berikutnya hanya akan mengenal penyu dari gambar di buku pelajaran—bukan karena kita menyelamatkannya, tapi karena kita gagal menjaga rumah bersama.*

Erwan Widyarto, Sekretaris Paguyuban Bank Sampah DIY dan Pengurus ICMI DIY Departemen Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan.

ꦠꦶꦁꦒꦭ꧀ꦏꦤ꧀ꦧꦭꦱꦤ꧀

꧋ꦄꦭꦩꦠ꧀ꦌꦩꦻꦭ꧀ꦱꦩ꧀ꦥꦺꦪꦤ꧀ꦎꦫꦣꦶꦗꦺꦣꦸꦭ꧀ꦤꦺꦈꦠ꧀āꦮ꧀āꦣꦶꦏꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦺ꧉ ꧋ꦫꦺꦴꦱ꧀ꦱꦶꦁꦏꦸꦣꦸꦣꦶꦆꦱꦶāꦤ꧀āꦠꦤ꧀ꦝꦤꦺ *