OPINI: Bekasi Bisa Jadi Inspirasi Pengelolaan Sampah dari Hulu

ꦲꦼꦄꦣ꧀ꦭꦶꦤꦺ


Di grup Whatsapp para pegiat bank sampah yang saya ikuti, ada anggota yang membagi info dari Bekasi. Isinya, pemerintah Kota Bekasi bersama DPRD baru saja membuat kebijakan penting. Setiap Rukun Warga (RW) menerima dana hibah Rp100 juta yang bisa dicairkan mulai Oktober 2025.

Namun, hibah ini tidak datang tanpa syarat. Setiap RW wajib menjalankan inovasi pengelolaan lingkungan, khususnya pemilahan sampah dari rumah tangga serta pengumpulan minyak jelantah.

Unggahan berisi kebijakan strategis ini sontak menjadi perbincangan. Banyak yang menilai kebijakan ini patut diapresiasi karena sejalan dengan amanah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Dalam regulasi tersebut, ditegaskan bahwa pemilahan sampah dari sumbernya adalah kewajiban. Artinya, tanggung jawab mengelola sampah tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah atau petugas kebersihan, melainkan harus dimulai sejak dari rumah tangga sebagai sumber timbulan sampah.

Banyak yang kemdian bertanya –lebih tepatnya berharap– kapan ya kebijakan semacam ini diadopsi oleh pemerintah kabupaten/kota di DIY?

Insentif Berbasis Kepatuhan

Selama ini, problem besar perkotaan seperti Bekasi, Kota Yogya, Sleman dan lainnya adalah budaya “buang jadi satu.” Sampah organik, anorganik, bahkan B3 (bahan berbahaya dan beracun) kerap bercampur dalam satu kantong plastik.

Hasilnya, volume sampah yang masuk ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) membengkak. Umur TPA semakin pendek, dan potensi daur ulang atau pemanfaatan kembali hilang begitu saja. Padahal, jika sampah dipilah sejak dari rumah, banyak material yang masih bisa bernilai ekonomis dan mendukung ekonomi sirkular.

Syarat yang diberikan pemerintah Kota Bekasi sesungguhnya mendorong perubahan budaya itu. Dana hibah Rp100 juta bukan sekadar “uang pembangunan lingkungan RW,” tetapi insentif berbasis kepatuhan hukum dan tanggung jawab sosial. RW yang serius melaksanakan pemilahan sampah dan pengumpulan minyak jelantah akan mendapatkan dukungan finansial, sementara RW yang lalai akan kehilangan kesempatan.

Program ini juga menyentuh isu lain yang tak kalah penting: pengelolaan minyak jelantah. Selama ini, limbah minyak goreng bekas kerap dibuang ke saluran air, menimbulkan pencemaran serius. Padahal, jika dikumpulkan dan disalurkan melalui Bank Sampah –untuk Bekasi sudah ada Bank Sampah Induk Patriot (BSIP)– minyak jelantah bisa diolah menjadi bahan bakar alternatif atau produk industri lain yang bernilai jual.

Hasil pengelolaan itu dapat menambah kas RW dan memberi manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat. Di Yogya, sudah banyak bank sampah yang menerima minyak jelantah ini. Tentu, akan lebih optimal jika dilakukan dengan terorkerstrasi, dan diperkuat regulasi setingkat RW.

Tantangan Serius

Program dana hibah RW ini cukup strategis dalam konteks pengelolaan sampah rumah tangga. Namun, perlu diingat bahwa tantangan di lapangan tidak sederhana. Pertama, masih banyak warga yang belum terbiasa memilah sampah. Butuh edukasi berulang, insentif, bahkan sanksi sosial agar budaya ini bisa terbentuk.

Kedua, pengurus RW –biasanya sosok sukarelawan– tidak semua memiliki kapasitas manajerial untuk mengelola dana hibah dan program lingkungan secara profesional. Jika tidak ada pendampingan, dana bisa habis tanpa meninggalkan program berkelanjutan.

Di sinilah pentingnya sinergi. Pemerintah kota tidak cukup hanya memberi dana, tetapi juga wajib mendampingi, melatih, dan mengawasi RW agar pengelolaan sampah berjalan sesuai regulasi. Lembaga-lembaga seperti bank sampah (induk), komunitas lingkungan, maupun perguruan tinggi bisa dilibatkan sebagai mitra penggerak.

Dengan begitu, dana hibah tidak berhenti pada pembangunan fisik, melainkan membentuk ekosistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Sampah pun menjadi penggerak ekonomi sirkuler yang memberi dampak ekonomis bagi warga.

Kebijakan di Kota Bekasi ini juga berisi kenaikan insentif bagi ketua RT dan RW. Hal ini juga sejalan dengan semangat penguatan pengelolaan sampah di hulu. Mulai 2025, ketua RT mendapat Rp750 ribu dan ketua RW Rp1,25 juta per bulan. Angka ini bukan sekadar tambahan pendapatan, melainkan pengakuan negara atas peran vital mereka sebagai ujung tombak pelayanan publik.

Dengan tanggung jawab baru dalam pengelolaan lingkungan, insentif ini bisa menjadi energi tambahan untuk bekerja lebih serius.

Menuju RW Mandiri

Harapan besar dari kebijakan ini adalah lahirnya RW-RW mandiri yang sadar lingkungan. Dana hibah Rp100 juta harus dikelola secara transparan, akuntabel, dan berdampak nyata. Baik untuk kebersihan, kesehatan, maupun ekonomi warga. Jangan sampai program ini hanya jadi formalitas administrasi tanpa perubahan perilaku di lapangan.

Bekasi kini punya momentum besar: menjadikan amanah Undang-Undang tentang pemilahan sampah sebagai budaya baru warganya. Jika berhasil, bukan hanya masalah sampah yang berkurang, tetapi juga tercipta nilai tambah ekonomi, solidaritas sosial, dan lingkungan yang lebih sehat.

Pada akhirnya, kunci dari semua ini bukan hanya uang hibah, melainkan kemauan bersama untuk mengelola sampah dari hulu –dari rumah kita masing-masing– sebagai langkah kecil menuju kota yang berkelanjutan. Kota-kota lainnya bisa segera menyusul. Bekasi sudah memulai, kapan Yogya mengikuti?

Erwan Widyarto, Provokator Pengelolaan Sampah Rumah Tangga.

ꦠꦶꦁꦒꦭ꧀ꦏꦤ꧀ꦧꦭꦱꦤ꧀

꧋ꦄꦭꦩꦠ꧀ꦌꦩꦻꦭ꧀ꦱꦩ꧀ꦥꦺꦪꦤ꧀ꦎꦫꦣꦶꦗꦺꦣꦸꦭ꧀ꦤꦺꦈꦠ꧀āꦮ꧀āꦣꦶꦏꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦺ꧉ ꧋ꦫꦺꦴꦱ꧀ꦱꦶꦁꦏꦸꦣꦸꦣꦶꦆꦱꦶāꦤ꧀āꦠꦤ꧀ꦝꦤꦺ *