OLEH: ERWAN WIDYARTO
YOGYA selalu punya cara untuk merayakan gagasan. Di bulan Agustus 2025 lalu, empat buku lahir dan diluncurkan hampir berurutan. Empat buku ini diterbitkan oleh empat penerbit yang berbeda. Seolah menandai denyut intelektual kota yang akrab dengan gelar “kota pelajar” sekaligus “kota budaya” ini. Alhamdulillah saya menjadi saksi lahirnya keempat buku itu.
Empat buku tersebut —Hutan Baru di Gunung Batu (diluncurkan 10 Agustus), Hospitality: Memenangkan Bisnis Memuliakan Pelanggan (25 Agustus), Jalan Jurnalisme Oka Kusumayudha (27 Agustus), dan Regulasi Media (Tanpa) Publik (30 Agustus).
Hadirnya keempat buku ini bukan hanya menambah daftar terbitan, melainkan juga memantulkan spektrum persoalan yang tengah dihadapi masyarakat: lingkungan, bisnis dan pelayanan, sejarah jurnalisme, serta regulasi media. Jika dibaca dalam satu tarikan napas, keempatnya menawarkan mosaik refleksi tentang arah kita ke depan.
Narasi Harapan Ekologis

Buku biografi Hutan Baru di Gunung Batu mengisahkan Sugiharto Soeleman, pengusaha tambang dan pemilik Jogja Gallery yang menyulap kawasan tandus karst di Gunungkidul menjadi hutan hijau. Dan kini kawasan tersebut menjadi destinasi ekowisata yang diberi nama Wunung: Giri Sela Kandha. Yang bermakna: Wunung, gunung batu yang berkisah.
Secara simbolis, buku ini hadir di tengah keresahan tentang krisis iklim, deforestasi, dan kerentanan ekologis di DIY dan Indonesia. Kisahnya bukan sekadar dokumentasi prestasi individu, tetapi pesan moral bahwa inisiatif personal bisa melampaui skeptisisme kolektif.
Namun, secara kritis, biografi seperti ini juga perlu ditempatkan dalam kerangka lebih luas: apakah upaya reforestasi individual bisa mengimbangi kerusakan sistematis akibat kebijakan ekstraktif? Jika Sugiharto berhasil menghidupkan hutan, maka tugas negara dan korporasi mestinya bukan merusak lebih besar.
Buku terbitan ArtCiv, Yogya ini bisa menjadi inspirasi, tetapi juga sekaligus kaca benggala: jangan sampai kita hanya mengagungkan “pahlawan tunggal,” sementara aktor besar perusak lingkungan lolos dari kritik dan sorotan.
Bisnis yang Memuliakan

Hospitality: Memenangkan Bisnis Memuliakan Pelanggan karya Ibnu Novel Hafidz, GM Hotel Grand Keisha, mencoba menegaskan bahwa bisnis perhotelan tak boleh sekadar mengejar keuntungan, melainkan membangun relasi memuliakan pelanggan. Tema ini relevan bagi Yogyakarta yang ekonomi pariwisatanya sangat bertumpu pada hospitality industry.
Di satu sisi, gagasan “memuliakan pelanggan” bisa dimaknai sebagai pengingat bahwa pelayanan tak boleh berhenti pada standar mekanis—senyum, salam, sapa—tetapi harus berakar pada nilai kemanusiaan. Namun di sisi lain, kritik tak bisa dihindari: apakah konsep memuliakan pelanggan benar-benar memerdekakan pekerja?
Industri hospitality sering dituding eksploitatif terhadap tenaga kerja, dari kontrak yang rapuh hingga jam kerja panjang. Buku terbitan Gava Media ini bisa jadi membuka diskusi baru: hospitality bukan hanya memuliakan tamu, tapi juga pekerja yang menopang layanan itu. Jika tidak, idealisme bisnis berisiko jadi jargon kosong.
Penjaga Memori Kolektif

Buku obituari Jalan Jurnalisme Oka Kusumayudha, disusun oleh Paguyuban Wartawan Sepuh (PWS), adalah bentuk penghormatan terhadap jurnalis yang menandai era penting dunia media lokal. Obituari semacam ini bukan hanya dokumentasi personal, melainkan penjaga memori kolektif, terutama di era disrupsi digital ketika jurnalisme sering dipandang usang.
Di sinilah letak tantangannya: apakah buku terbitan Tonggak Pustaka ini hanya menjadi nostalgia komunitas wartawan senior, atau justru menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda? Jika generasi sekarang enggan membaca jejak wartawan lama, maka obituari berpotensi terkubur sebagai “museum ingatan.”
Penting untuk mengaitkan kembali narasi Oka dengan isu aktual: kebebasan pers yang kian tergerus, algoritma yang menelan independensi, hingga komersialisasi berita. Jika tidak, penghormatan personal bisa kehilangan relevansi sosial. Hal ini yang disorot oleh Ahli Komunikasi dan Media Ashadi Siregar dalam peluncuran buku ini.
Regulasi Media dan Kritik Politik

Buku Regulasi Media (Tanpa) Publik menjadi catatan 15 tahun PR2Media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media). Buku ini sekaligus evaluasi keras atas pemerintahan Jokowi dalam soal regulasi penyiaran dan media.
Buku yang diterbitkan Istana Agency ini menjadi semacam catatan “rapor merah” bagi sang presiden dua periode asal Solo tersebut. Kebijakan media lebih banyak dikuasai kepentingan elite daripada publik. Regulasi yang diterapkan tidak hanya membatasi ruang gerak media, tetapi juga menciptakan iklim yang kurang sehat bagi perkembangan komunikasi di era digital.
Peluncuran buku ini penting karena menegaskan bahwa demokrasi tidak bisa hanya dirayakan lewat pesta elektoral, melainkan harus dikawal lewat regulasi yang berpihak pada masyarakat. Sayangnya, regulasi media di Indonesia justru condong ke arah kontrol, bukan pemberdayaan publik. Kritik yang ditawarkan buku ini sejalan dengan keresahan masyarakat sipil: media kian dikooptasi oligarki, sementara ruang publik mengecil.
Kritik yang bisa diajukan di sini adalah bagaimana buku ini direspons? Apakah akan sekadar dibaca kalangan aktivis, atau mampu memicu perdebatan nasional? Tanpa ekosistem diskursus yang sehat, kritik sering berhenti di lingkaran terbatas.
Mosaik Gagasan
Empat buku ini, jika dipandang bersamaan, seperti mewakili empat arah angin wacana di Yogyakarta: utara (ekologi), selatan (bisnis-hospitality), timur (sejarah-jurnalisme), dan barat (regulasi-media). Setiap buku mengangkat isu berbeda, tetapi sesungguhnya berbicara tentang hal yang sama. Yakni bagaimana manusia membangun hubungan—dengan alam, dengan sesama, dengan sejarah, dan dengan sistem politik.
Mosaik ini juga memperlihatkan ketersebaran gagasan tanpa koneksi. Kita perlu menjahitnya. Reforestasi karst tak akan bertahan tanpa regulasi lingkungan yang kuat; hospitality tak akan bermakna tanpa media yang mengkritisi praktik bisnis; jurnalisme tak akan abadi tanpa demokrasi yang sehat. Buku-buku ini mestinya dibaca bukan secara terpisah, melainkan sebagai percakapan antarbidang.
Peluncuran empat buku di Agustus 2025 di Yogyakarta adalah perayaan keberanian menulis di tengah zaman serba cepat. Namun di balik selebrasi, ada tantangan kritis: bagaimana agar gagasan yang diluncurkan tak sekadar berhenti di panggung seremoni, melainkan menjadi amunisi perubahan nyata.
Yogyakarta, dengan tradisi intelektualnya, seharusnya mampu menjadikan empat buku ini bukan hanya catatan pinggiran, melainkan peta jalan untuk masa depan yang lebih adil, berkelanjutan, dan manusiawi.*
Erwan Widyarto, Penulis, Pegiat lingkungan dan desa wisata, Pengurus ICMI Orwil DIY.