YOGYA – Salah satu program Unggulan Kementerian Pariwisata RI adalah mendorong desa wisata untuk bisa menjadi destinasi pariwisata yang menarik dan berkualitas. Ini sejalan dengan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta. Yakni, menjadikan desa wisata berkelas dunia, berdaya saing, dan berkelanjutan serta sebagai simbol kebangkitan ekonomi.
Pengembangan desa wisata juga relevan dengan tren baru pariwisata pascapandemi yang berbasis nature and culture immersion, yaitu fokus pada alam terbuka dan pengalaman budaya yang mendalam. Pengembangan desa wisata selama ini dengan konsep pariwisata berkelanjutan yang berfokus pada empat pilar, yaitu keberlanjutan pengelolaan atau manajemen, sosial budaya, ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan.
Dengan alasan itulah, Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terus berupaya untuk menjaga kualitas dan meningkatkan mutu desa wisata. Apalagi di DIY sudah ada payung hukum dalam bentuk Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 40 Tahun 2020 tentang Kelompok Sadar Wisata dan Desa/Kampung Wisata.
Dalam upaya penjaminan mutu Desa/Kampung Wisata dan Homestay sesuai Peraturan Gubernur tersebut, perlu dilakukan klasifikasi terhadap Desa/Kampung Wisata dan Homestay. “Klasifikasi pada tahun 2025 ini berkolaborasi dengan Dinas Pariwisata Kabupaten/Kota, akademisi, asosiasi, media, praktisi dan auditor, “ jelas Kepala Bidang Sumberdaya Pariwisata Dispar DIY Siti Inganati, Kamis (17/4/25).
Siti Inganati menjelaskan hal tersebut dalam Rapat Koordinasi Tim Pokja Desa Wisata DIY. Hadir pada pertemuan ini Kepala Dinas Pariwisata DIY Imam Pratanadi, anggota Pokja Desa Wisata DIY, perwakilan dinas pariwisata kabupaten/kota dan Forkom Desa/Kampung Wisata DIY. Tim Pokja merupakan perwakilan komponen Pentahelix meliputi Akademisi, Bisnis, Komunitas, Pemerintah dan Media.
Adapun sasaran kegiatan Klasifikasi Desa/Kampung Wisata Tahun 2025 adalah 18 desa/kampung wisata di DIY berdasarkan usulan Dinas Pariwisata Kabupaten/Kota. Pelaksanaan klasifikasi dengan kunjungan ke lokasi berlangsung April-Juni 2025.
Selain klasifikasi, juga akan dilakukan Monev (monitoring dan evaluasi) kinerja desa wisata yang pernah menerima penghargaan ADWI (Anugerah Desa Wisata Indonesia), memenangi lomba desa wisata DIY maupun pertimbangan lain yang ditentukan oleh Tim Kelompok Kerja (Pokja) Desa Wisata DIY. Monev untuk 5 desa/kampung wisata.
Kepala Dinas Pariwisata DIY Imam Pratanadi menegaskan kegiatan ini sangat penting untuk menjaga keberlangsungan desa/kampung wisata. “Jangan sampai, ada desa wisata, pernah meraih anugerah ADWI atau juara lomba, saat dikunjungi ke sana nggak ada apa-apa, “ ingatnya.
Imam juga berpesan untuk menyiasati limitasi anggaran agar Dinas Pariwisata Kabupaten dan Kota berkolaborasi dalam klasifikasi ini. Yakni kabupaten/kota melakukan klasifikasi untuk desa/kampung wisata kategori rintisan yang siap berkembang sedangkan Dispar DIY untuk kategori maju yang siap mandiri. “Untuk yang mandiri nanti pusat (Kemenpar) yang melakukan pembinaan, “tambah Imam.
Dari kegiatan klasifikasi ini diharapkan ada desa/kampung wisata yang “naik kelas“. Artinya memiliki kinerja yang terus meningkat. Instrumen untuk penilaian klasifikasi ini dirumuskan Tim Pokja DIY meliputi 8 instrumen penilaian. Yakni kelembagaan, kemitraan, lingkungan dan pelestarian budaya, peran serta masyarakat, atraksi wisata, aksesibilitas, amenitas, serta promosi dan pemasaran.
Dalam waktu yang bersamaan juga akan dinilai homestay desa wisata yang menjadi penunjang aktivitas desa/kampung wisata di 18 desa/kampung wisata ini. Klasifikasi ini untuk menegaskan bahwa homestay desa wisata merupakan akomodasi yang berbeda dengan penginapan/pondok wisata industri.
Ketentuan homestay desa wisata sesuai dengan Pergub No 40 tahun 2020. Penilaian homestay desa wisata ini dilakukan oleh Tim Penilai dari Papindo (Perhimpunan Auditor Pariwisata Indonesia). Penjaminan mutu homestay dilaksanakan melalui sertifikasi dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari akreditasi Desa/Kampung Wisata.
“Tinggal bersama pemilik rumah dan terjadi interaksi yang memberikan experiences pada tamu merupakan syarat mutlak untuk homestay desa wisata. Ini yang membedakan dengan penginapan industri. Homestay desa wisata merupakan akomodasi yang tak terpisahkan dari aktivitas desa wisata dan dikelola oleh manajemen desa wisata berdasarkan MoU antara pemilik rumah dengan pengelola desa wisata,“ jelas Bobby Ardyanto.
Salah satu anggota Tim Pokja Desa Wisata yang memiliki sejumlah hotel ini pun menegaskan, dengan mematuhi ketentuan tersebut, homestay desa wisata bukan pesaing penginapan industri anggota PHRI. Bobby dan Kepala Dispar DIY pun mengingatkan agar semua pihak hendaknya mematahui ketentuan yang ada. Baik ketentuan yang diatur Kemenpar maupun Pergub DIY. “Misalnya, para pengelola desa wisata tidak memasukkan penginapan, guest house maupun pondok wisata di luar ketentuan itu ke dalam manajemen desa wisata yang kemudian dipakai untuk menghindari pajak, “ tandas Imam. (wan)