Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) yang digelar di Kantor DPD RI DIY, Jalan Kusumanegara 133 Yogyakarta, Selasa (9/4/2025) menjadi ajang curhat . Para pelaku industri pariwisata, “njerit bareng“. Berteriak bersama. Meminta ketegasan pemerintah dalam mengembangkan pariwisata.
“Teriakan bersama“ ini muncul dalam kegiatan reses anggota Komisi III DPD RI Ir. Ahmad Syauqi Soeratno MM. Pada pertemuan ini, Syauqi menginventarisir materi pengawasan pelaksanaan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dia mengundang para pelaku industri pariwisata yang tergabung dalam Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) DPD DIY, Bupati dan Walikota di DIY, Kepala Dinas Pariwisata DIY dan Kabupaten/Kota, DPRD DIY, KADIN, Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) DIY, perguruan tinggi, OJK, Badan Pelaksana Otorita Borobudur, PT Taman Wisata Candi, Bank Indonesia dan Kepolisian.
FGD yang berlangsung selama 4 jam lebih ini mengusung tema “Respon Pelaku Wisata terhadap Kebijakan Pemerintah Pusat Terkait Kepariwisataan”. Menyoroti dua kebijakan yang diduga berkontribusi pada kondisi jasa pariwisata tahun 2025 tidak sesuai dengan yang diharapkan, yaitu revisi UU No 10 Tahun 2009 dan Inpres No 1/2025 tentang efisiensi anggaran.
Syauqi menegaskan banyak yang perlu dibahas terkait sektor pariwisata di DIY dalam FGD ini. Harapannya, diperoleh berbagai masukan dari semua pemangku kepentingan pariwisata di DIY untuk membangun ekonomi pariwisata terpadu. Dan yang terpenting mendorong pemerintah pusat dan pemda memunculkan kebijakan yang membangkitkan pariwisata di Yogyakarta.
Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) DIY, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara meminta kepastian pemerintah. Apakah benar pariwisata masih menjadi prioritas dan lokomotif perekonomian Indonesia?
“Apa bener masih pariwisata atau soal ketahanan pangan? Ini harus jelas, jangan sampai kita diberi target tinggi tapi tidak dilengkapi alat atau anggaran untuk mencapai target itu, “ tegas Gusti Bendara disambut teriakan “setujuuuu“ oleh pelaku industri pariwisata yang hadir.
Jeritan berikutnya dari Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY Deddy Eryono Pranowo. Disampaikannya, “nafas kehidupan“ anggotanya hanya sampai Mei 2025. Setelah bulan tersebut, langkah pemutusan hubungan kerja, bahkan penutupan operasional usaha bisa menjadi pilihan utama.
“Tolong dong beri kami oksigen. Tinjau ulang efisiensi anggaran. Jangan nol persen. Mungkin cukup potong anggaran 50 persen agar tidak mematikan kami dan juga usaha kecil menengah (UKM) yang selama ini hidup bersama usaha PHRI,“ teriak Deddy.
Deddy menyampaikan selama ini sejumlah UKM, petani sayur, peternak ayam dan telur, sudah tanya-tanya kenapa pihaknya tidak lagi beli hasil produksi pertaniannya. “Lha mau beli untuk apa wong tamu saja tidak ada,“ ujar Deddy retoris.
Ancaman berikutnya juga datang dari larangan study tour yang disebut Deddy datang dari Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Situasi tersebut diperkirakan membawa dampak nyata dan memperburuk situasi.
“Tiga daerah tersebut cukup besar jumlah siswanya selama ini. Hal ini juga perlu intervensi dari pemerintah, kami titipkan ke Mas Syauqi sebagai wakil di DPD RI. Sangat baik jika ada relaksasi pajak, kebijakan pembayaran listrik dari PLN maupun air dari PDAM,” lanjut Deddy.
Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) DIY Bobby Ardiyanto Setya Aji menegaskan Inpres 1 tahun 2025 sangat berpengaruh terhadap DIY. Kegiatan pemerintah diakui Bobby menyumbang 55 persen dari total pendapatan pariwisata DIY terutama pada masa awal tahun.
Awal tahun adalah masa low season. Biasanya mengandalkan kegiatan pemerintah ini. “Ketika ada efisiensi dan anggaran itu hilang, jelas menjadi dampak luar biasa bagi kami,” tandas Bobby.
Sebelum Gusti Bendara, Bobby Ardyanto maupun Deddy, “teriakan“ terhadap kondisi kepariwisataan di DIY ini juga disampaikan oleh GIPI DIY melalui Tim Litbang. DPD GIPI DIY melakukan survei terhadap anggotanya, para pelaku industri pariwisata. Survei tentang “Imbas Inpres No 1/2025, Larangan Study Tour, dan Kebijakan Lainnya bagi Pelaku Pariwisata & Ekraf di DIY“.
Hasilnya, akibat penerapan Inpres No 1/2025 nyata-nyata memberikan dampak sistemik yang cenderung membuat tidak kondusif perkembangan sektor kepariwisataan, termasuk bagi DIY. Imbas yang nyata dari pengetatan anggaran di antaranya sebanyak 45,7% klien menunda pemesanan, 46,9 % membatalkan pesanan.
Dari semua dampak yang telah dirasakan tersebut, para pelaku industri pariwisata di DIY mendesak agar pemerintah meninjau ulang atau membatalkan Inpres No 1/2025. Pemerintah juga diminta untuk memberikan insentif pengurangan beban pajak dan kelonggaran pembayaran kredit, rekening listrik PLN maupun air PDAM.
Jeritan pelaku industri pariwisata tersebut langsung ditanggapi. Untuk kebijakan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, para kepala daerah yang hadir dan Senator Ahmad Syauqi Soeratno akan berusaha sekuat tenaga untuk mengakomodasi. Sedangkan untuk yang menjadi kewenangan pusat, akan dibawa oleh anggota DPD perwakilan DIY ini ke Jakarta. *