Oleh : ERWAN WIDYARTO.
Fenomena berkembangnya desa wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tak bisa dilepaskan dari daya tariknya sebagai ruang yang menawarkan keaslian budaya, keramahan warga, serta lanskap pedesaan yang asri. Namun, di balik wajah ramah desa wisata, mengintai sebuah pertanyaan penting: sejauh mana desa-desa tersebut menampilkan dirinya secara otentik, dan sejauh mana ia sedang memainkan peran sesuai imajinasi wisatawan?
Di sinilah konsep tourist gaze yang diperkenalkan John Urry menjadi relevan. Tourist gaze merujuk pada cara pandang wisatawan yang terbentuk oleh ekspektasi, media, dan konstruksi budaya tentang apa yang layak dilihat. Dalam konteks DIY, wisatawan seringkali datang dengan harapan menemukan kehidupan desa yang “alami”, “tradisional”, atau bahkan “eksotik”.
BACA JUGA : Sinergi Industri Pariwisata dengan Desa Wisata
Harapan ini tidak lahir begitu saja, melainkan dibentuk oleh citra-citra yang diproduksi oleh brosur pariwisata, media sosial, atau pengalaman turis sebelumnya yang dibagikan secara daring. Akibatnya, desa wisata sering merasa perlu menampilkan kehidupan yang sesuai dengan pandangan itu. Bahkan jika perlu dengan mengemas ulang realitas sosialnya.
Di beberapa desa wisata, seperti di Sleman atau Kulonprogo, kita bisa menyaksikan pertunjukan tari tradisional yang hanya digelar untuk wisatawan. Rumah-rumah warga yang didandani ala “tempo dulu” atau aktivitas harian seperti menumbuk padi yang sengaja dipentaskan.
Padahal semua itu bukan bagian dari rutinitas harian, melainkan upaya memenuhi gaze wisatawan– semacam teater budaya. Masyarakat lokal tak lagi sekadar menjadi tuan rumah, melainkan aktor yang memainkan peran tertentu dalam panggung pariwisata.
BACA JUGA : Ancaman Baru Rusaknya Atmosfer
Konsekuensinya bersifat ganda. Di satu sisi, tourist gaze bisa membuka peluang ekonomi dan meningkatkan rasa bangga warga terhadap budayanya. Namun di sisi lain, ada risiko pelestarian yang bersifat kosmetik, dan hilangnya makna asli dari praktik-praktik budaya yang dikomodifikasi. Desa bisa terjebak dalam kurasi berlebihan, menyesuaikan narasi lokal agar sesuai dengan keinginan pasar. Bukan lagi berdasarkan nilai-nilai komunitas.
Oleh karena itu, penting bagi pengelola desa wisata di DIY untuk tidak sekadar menjadi cermin bagi tourist gaze. Namun menjadi ruang negosiasi antara apa yang ingin ditampilkan dan apa yang memang bernilai bagi masyarakat lokal.
BACA JUGA: 100 Ribu Wisatawan Kanada Kunjungi Indonesia
Alih-alih semata menjawab ekspektasi luar, desa wisata idealnya menjadi panggung yang memperlihatkan jati diri dengan percaya diri. Bukan hanya agar turis puas, tetapi agar warga juga merasa utuh. Pernyataan ini menggugat satu hal mendasar dalam pembangunan desa wisata: untuk siapa narasi desa wisata dibangun?
Selama ini, banyak desa wisata berlomba memenuhi selera pasar: menampilkan budaya yang “menjual”, mempercantik lanskap sesuai estetika wisatawan, atau menyuguhkan pertunjukan yang sesuai ekspektasi brosur. Tidak sedikit desa yang justru kehilangan arah karena sibuk menjadi cermin dari apa yang diinginkan orang luar, bukan dari siapa mereka sebenarnya. Hasilnya, yang tampil di hadapan wisatawan bukanlah wajah otentik desa, melainkan semacam “topeng budaya” yang dipakai hanya saat tamu datang.
BACA JUGA: Jihad Lingkungan Aisyiyah di Pasar Tradisional
Padahal, kekuatan desa wisata justru terletak pada keunikan identitas dan keberanian untuk merayakan kehidupan sehari-hari apa adanya. Ketika desa tampil dengan jati dirinya –misalnya pola hidup gotong royong, pengetahuan lokal tentang musim tanam, nilai spiritual dalam pengolahan pangan, atau cara mereka berinteraksi dengan alam– di situlah wisatawan mendapatkan pengalaman yang otentik dan bermakna. Bukan tontonan, tapi perjumpaan.
Dari sudut pandang warga desa, ini bukan hanya soal citra, tetapi juga martabat. Mereka tidak sekadar menjadi pelayan pariwisata, tetapi subjek kebudayaan yang menentukan bagaimana ingin dilihat dan dikenang. Ketika desa tampil dengan percaya diri –tanpa harus mendandani kenyataan atau memalsukan tradisi– maka pariwisata menjadi ruang aktualisasi, bukan sekadar adaptasi.
BACA JUGA: Membaca Empat Buku, Membayangkan Peta Jalan ke Depan
Di sinilah rasa utuh itu hadir. Warga tidak merasa tercerabut dari akar atau terseret oleh arus komodifikasi, tetapi justru menemukan kembali nilai-nilai lokal yang selama ini mungkin terpinggirkan.
Dalam konteks ini, desa wisata menjadi “panggung” bukan dalam arti teatrikal, tetapi sebagai ruang naratif. Panggung tempat mereka berbicara dengan suara sendiri, bukan sekadar melafalkan naskah yang ditulis pihak luar. Panggung yang tidak selalu sempurna atau instagramable, tapi jujur, hidup, dan menyentuh. Panggung tempat anak muda desa bisa berkata: “Inilah cara kami hidup, ini yang kami yakini, ini yang kami rawat.”
BACA JUGA: Jalan Tol dan Tantangan Pembenahan Ekosistem Pariwisata
Untuk menuju desa wisata semacam ini, dibutuhkan keberanian untuk menolak logika pasar yang menuntut semua harus dikemas. Diperlukan kepekaan dalam memilih mana yang layak ditampilkan karena bernilai, bukan hanya karena menarik. Dan yang tak kalah penting: desa harus punya ruang dialog. Antara warga sendiri, antara generasi tua dan muda, antara desa dan wisatawan. Agar narasi yang dibangun betul-betul merepresentasikan suara bersama.
Maka, desa wisata bukan soal menjual pengalaman, tapi menghidupi pengalaman. Bukan sekadar membuat turis puas, tetapi membuat warga desa merasa berdaya dan bermakna. Inilah jalan menuju pariwisata yang bukan hanya indah dipandang, tetapi juga kuat dirasakan. Oleh siapa pun yang datang maupun yang tinggal.*
Erwan Widyarto, Pendamping Desa Wisata dan anggota Tim Pokja Desa Wisata DIY.