OPINI: Ancaman Baru Rusaknya Atmosfer

Headline

Ilustrasi Gemini AI

OLEH: ERWAN WIDYARTO

TANGGAL 16 September setiap tahun dunia memperingati Hari Ozon Internasional. Peringatan ini merujuk pada momen bersejarah penandatanganan Protokol Montreal tahun 1987. Kesepakatan global ini untuk menghentikan produksi dan konsumsi zat perusak ozon (Zat Perusak Ozon/ZPO) seperti CFC, senyawa halon, dan HCFC.

Berkat protokol itu, para ilmuwan melaporkan adanya tanda-tanda pemulihan lapisan ozon yang selama dekade 1980–1990-an sempat menipis secara dramatis. Apakah karena kabar baik ini, peringatan Hari Ozon Internasional tahun ini terlewatkan begitu saja?  

Bisa kita lihat, tak ada media yang melaporkan aktivitas atau refleksi terhadap Hari Ozon ini. Liputan tak ada. Juga minim refleksi dari para ahli maupun pemerhati lingkungan. Padahal, jika kita merenung lebih dalam, di balik optimisme pemulihan lapisan ozon itu, ada ancaman baru terhadap rusaknya ozon yang jarang diperbincangkan: sampah.

Gas metana dan ozon

Pengelolaan sampah yang buruk tidak hanya merusak daratan dan lautan, tetapi juga atmosfer. Sisa makanan yang membusuk di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) menghasilkan gas metana (CH₄). Gas metana salah satu gas rumah kaca yang daya perangkap panasnya 25 kali lebih kuat daripada karbon dioksida.

Emisi metana ini penting dalam pembentukan ozon tingkat permukaan (troposfer) yang berbahaya bagi manusia dan tanaman, tetapi  memang tidak sama dengan kerusakan lapisan ozon atas (stratosfer) seperti yang ditangani Protokol Montreal. Jadi, gas metana tidak dikategorikan sebagai ZPO seperti CFC, tetapi ia berkontribusi terhadap pemanasan global.

Pemanasan inilah yang memperburuk tekanan terhadap lapisan ozon, yang sejak awal rentan terhadap perubahan iklim. Singkatnya, ketika kita gagal mengelola sampah, kita ikut memperbesar beban pada lapisan pelindung bumi di atas kepala kita.

Lebih jauh lagi, praktik pembakaran sampah terbuka yang lazim di berbagai wilayah Indonesia –terutama ketika banyak TPA open dumping ditutup– menambah persoalan serius. Banyak sampah plastik dan elektronik mengandung bahan kimia berbahaya yang jika dibakar, dapat melepas senyawa kimia mirip ZPO ke atmosfer. Asapnya bukan hanya berbahaya bagi kesehatan manusia, tetapi juga berpotensi menambah kerusakan atmosfer.

Aktivitas kecil yang dilakukan sehari-hari seperti membakar tumpukan plastik di halaman rumah, secara kolektif bisa berdampak global.

Peringatan Hari Ozon seharusnya tidak hanya dipandang sebagai agenda internasional yang jauh dari keseharian kita. Justru ia harus menjadi cermin untuk menata ulang kebiasaan domestik.

Bagaimana mungkin kita bangga menjadi bagian dari kesepakatan global yang berhasil, sementara di dalam negeri kita terus memproduksi lebih dari 60 juta ton sampah per tahun, dengan mayoritas berakhir di TPA tanpa pengelolaan memadai? Bukankah itu berarti kita sedang menyiapkan bom waktu iklim sekaligus atmosfer?

Edukasi sampah-iklim-ozon

Dalam konteks ini, edukasi publik tentang keterkaitan antara sampah, iklim, dan ozon menjadi penting. Selama ini narasi tentang lapisan ozon sering dipersempit pada zat kimia industri seperti CFC. Padahal, ancaman kini lebih kompleks. Polusi udara dari pembakaran sampah, metana dari tumpukan organik, hingga zat beracun dari limbah elektronik, semuanya bagian dari tantangan baru perlindungan atmosfer.

Oleh karena itu, membangun budaya mengelola sampah dari rumah, memilah organik dan anorganik, mengurangi plastik sekali pakai, serta memanfaatkan kembali sisa makanan adalah langkah konkret yang bisa dilakukan setiap warga. Sejak dari awal timbulan sampah.

Kebijakan negara juga tidak boleh setengah hati. Pemerintah perlu mempercepat transisi dari TPA open dumping menuju sistem sanitary landfill atau, lebih baik lagi, zero waste city. Investasi pada teknologi daur ulang, pengolahan biogas dari sampah organik, dan pelarangan pembakaran sampah terbuka harus dipandang bukan sekadar urusan lingkungan, tetapi juga bagian dari komitmen menjaga atmosfer bumi.

Bukankah kita sudah bersepakat dalam Protokol Montreal untuk melindungi ozon? Maka, konsistensi dalam pengelolaan sampah adalah ujian nyata komitmen tersebut.

Abai sampah, ozon bermasalah

Hari Ozon Internasional adalah pengingat bahwa bumi telah memberi kita kesempatan kedua. Lubang ozon yang dulu dianggap kiamat bagi umat manusia kini perlahan menutup berkat kolaborasi sains, kebijakan, dan kesadaran global. Namun, kesempatan itu bisa sia-sia jika kita abai pada ancaman baru yang datang dari pola konsumsi dan pengelolaan sampah kita sendiri.

Singkatnya, lapisan ozon tidak rusak hanya oleh pabrik raksasa di belahan bumi utara. Ia juga bisa terkikis oleh kebiasaan kecil kita di rumah yang mengabaikan sampah. Maka, Hari Ozon 2025 seharusnya menjadi momentum refleksi nasional: bahwa menjaga atmosfer sama artinya dengan membangun tata kelola sampah yang sehat, adil, dan berkelanjutan.

Langit di atas kepala kita bergantung pada kesadaran di bumi tempat kita berpijak. Ia bukan sekadar bentangan biru yang indah dipandang, melainkan cermin dari cara kita memperlakukan alam. Bila bumi terus dijejali sampah, dibakar tanpa kendali, dan dipenuhi ego konsumsi, maka langit pun ikut merapuh. Namun bila kita memilih jalan sederhana –mengurangi, memilah, dan mengelola sampah dengan benar– langit akan tetap menjadi pelindung setia.

Ozon bukan hanya persoalan ilmiah di atmosfer, melainkan konsekuensi dari sikap kita sehari-hari. Maka menjaga langit biru berarti menata bumi yang kita injak, dengan kesadaran bahwa keduanya tak pernah terpisah. *

Erwan Widyarto, Sekretaris Paguyuban Bank Sampah DIY dan pengurus Departemen Lingkungan ICMI Orwil DIY.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *