Penggerak Desa Wisata Dieng Kulon Alif Ajisaka mengungkapkan rasa syukur karena hingga saat ini di desanya tidak ada yang terpapar Covid-19. Rasa syukur diungkapkan karena selama pandemi, wisata ke Dieng tetap ramai. Bahkan, homestay yang ada, pada waktu tertentu juga penuh.
“Di satu sisi, deg-degan pasti ada karena ramainya pengunjung ke Dieng. Tapi, alhamdulillah, dengan protokol Kesehatan yang ketat, tidak ada yang terpapar Covid sampai saat ini, “cerita Alif saat berbicara dalam Seminar Series Nasional Kepariwisataan #6, Prodi S2/S3 Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Selasa (14/1) malam.
Dalam seminar bertema Desa Wisata di Dieng Kulon Pengembangan dengan Modal Sosial? ini, Alif juga mengungkapkan adanya “sertifikasi” terhadap homestay yang ada. Ada stiker dari Satgas Covid-19 Jawa Tengah untuk homestay yang menerapkan dan memenuhi protokol CHSE. Hal ini menambah keyakinan pengunjung terhadap pariwisata Dieng yang aman.
Diceritakannya pula kondisi pengunjung selama tahun 2020. Menurut Ketua Pokdarwis Dieng Pandawa ini, jumlah kunjungan pada tahun 2020 masih seramai dengan kunjungan pada tahun 2016-2017. Hanya saja, konsentrasi pengunjung terjadi hanya pada dua bulan awal yaitu Januari dan Pebruari 2020 serta pada bulan Agustus-September.
“Dieng memang kami tutup pada bulan Maret 2020 ketika diumumkan mulainya pandemi di Indonesia. Kemudian buka lagi pada bulan Agustus 2020 ketika kita mulai menerapkan secara tegas protokol kesehatan,” tambah Alif.
Alif juga menceritakan kekuatan modal sosial berupa hubungan antarkomunitas yang harmonis, dan seringnya kolaborasi dengan komponen Pentahelix dalam sejumlah kegiatan. Alif juga mengucapkan terima kasih terhadap UGM, dari unsur akademis, yang terus mendukung pengembangan pariwisata Dieng.
Bagi masyarakat Dieng, hari-hari sepi kunjungan, mereka manfaatkan untuk beristirahat dan merefleksikan ulang dengan melakukan penataan-penataan destinasi yang diperlukan. Artinya, baik Dieng sepi maupun ramai masyarakat mengambil hikmah.
Apa yang disampaikan Alif tersebut seperti menggarisbawahi yang dipaparkan Dr. Bakri, MM. Doktor alumni program Kajian Pariwisata UGM ini menjadi narasumber utama pada seminar tersebut. Bakri telah melakukan pendampingan dan riset di Desa Wisata Dieng Kulon, Jawa Tengah untuk disertasinya.
Bakri menegaskan hampir tidak mungkin pariwisata tumbuh tanpa keikutsertaan masyarakat secara aktif. Seperti mempersiapkan destinasi, menjaga keamanan, melayani wisatawan dan mempromosikannya, atau dengan kata lain modal sosial diperlukan bagi pengembangan pariwisata.
Dan modal sosial tersebut, kata Bakri, terbentuk karena adanya kesamaan nilai dan tujuan yang hendak dicapai. Sehingga, unsur kepercayaan, jaringan dan norma menjadi penting dalam pembentukan modal sosial.
Dengan menggunakan parameter tersebut, Bakri menganalisis modal sosial di desa wisata Dieng Kulon. Bakri menemukan bahwa dengan diberikan kepercayaan dan mandat kepada masyarakat, mereka berhasil mengembangkan Desa Wisata sejak 2009.
“Masyarakat berhasil mengubah potensi alam dan budaya menjadi produk wisata seperti paket wisata, 120 homestay, makanan khas dan Festival Budaya Dieng. Bahkan masyarakat pengelola homestay mampu mendapatkan penghasilan hingga 4,3 juta rupiah. Hal ini didukung oleh meningkatkan jumlah kunjungan wisata sejak 2011 – 2016, ” tandas Bakri.
Prof. Heddy Shri Ahimsaputra sebagai pembahas menambahkan bahwa selain modal sosial, dalam pengembangan pariwisata diperlukan pula modal budaya dan modal ekonomi. Ketiganya harus ada dan berjalan dengan beriringan.
Meskipun demikian di banyak destinasi, seringkali ada ketimpangan dan tidak sejalan. Misalnya modal sosial tinggi tetapi modal ekonomi rendah. Prof. Heddy juga menggarisbawahi peran agen external dalam pengembangan pariwisata Dieng yang juga dikonstruksi dari meningkat dan meluasnya jaringan yang dibentuk oleh Desa Wisata. (*)