Oleh: ERWAN WIDYARTO
World Tourism Day (WTD) atau Hari Pariwisata Dunia diperingati setiap tanggal 27 September. Pada tahun 2025 ini mengusung tema Tourism and Sustainable Transformation atau Pariwisata dan Transformasi Berkelanjutan. Tema ini terasa sangat relevan karena dunia pariwisata kini menghadapi dilema besar. Apakah akan terus mengejar pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan, atau berani melakukan transformasi yang sungguh-sungguh berpihak pada keberlanjutan, ketangguhan, dan keadilan sosial.
BACA JUGA: Refleksi Kritis Pengembangan Desa Wisata
Sekjen UNWTO, Zurab Pololikashvili, menegaskan, “UN tourism is leading the way forward in growing investments into the tourism sector. We serve as the bridge between investors and destinations, and we guide investments where they will have the biggest impact in making tourism more resilient, inclusive and sustainable.” Pernyataan ini menekankan bahwa masa depan pariwisata bukan lagi sekadar soal promosi destinasi atau angka kunjungan, melainkan bagaimana investasi diarahkan agar memberi dampak besar pada resiliensi, inklusi, dan keberlanjutan.
Alarm keras dari Bali
Di tengah gema wacana global di atas, Indonesia justru dihadapkan pada realitas pahit. Belum lama ini Bali, yang selama ini dielu-elukan sebagai surga wisata dunia, dilanda banjir besar. Pulau yang penuh dengan hotel mewah, vila eksklusif, dan infrastruktur pariwisata megah ternyata tidak kebal terhadap guncangan iklim. Banjir tersebut adalah alarm keras bahwa pembangunan pariwisata yang abai pada daya dukung lingkungan pada akhirnya akan melukai dirinya sendiri. Surga wisata bisa runtuh bila fondasi ekologinya rapuh.
Perubahan iklim bukan lagi ancaman abstrak. Peningkatan suhu ekstrem, abrasi pantai, kekeringan, dan bencana hidrometeorologi kini nyata mengintai destinasi wisata di Indonesia. Ironisnya, industri pariwisata sendiri sering berkontribusi terhadap kerusakan: pembangunan di kawasan resapan air, meningkatnya emisi dari transportasi berbasis fosil, serta menumpuknya sampah plastik di lokasi wisata.
BACA JUGA: Sinergi Industri Pariwisata dengan Desa Wisata
Bali, Yogyakarta, hingga Labuan Bajo sama-sama menghadapi paradoks. Destinasi yang dijual sebagai eksotis dan lestari justru digerogoti oleh model pariwisata dan investasi yang eksploitatif. Sejumlah kasus bisa disebut: pembangunan beach club yang mengancam karst di Gunungkidul, eksplorasi tambang di Raja Ampat maupun pembangunan resor di Pulau Padar.
Indonesia masih terjebak pada paradigma lama yang menempatkan pariwisata semata sebagai mesin devisa. Logika kuantitas –berapa banyak wisatawan masuk dan berapa besar devisa yang ditarik—masih mendominasi. Sehingga kualitas pengalaman, kesejahteraan masyarakat lokal, dan kelestarian alam sering terpinggirkan. Fenomena overtourism di Borobudur –yang sebelum pandemi bisa mencapai 10-15 ribu pengunjung, volume sampah yang melimpah di pantai Bali, serta kesenjangan desa wisata yang belum siap menghadapi arus kunjungan besar adalah gambaran nyata.
Modal kearifan lokal
Filsuf Martin Heidegger pernah mengingatkan, “Kita tidak pernah menjadi penguasa bumi, kita hanya penunggu yang dititipi.” Kata-kata ini menohok cara kita membangun pariwisata. Jika pariwisata hanya diperlakukan sebagai komoditas jangka pendek, maka ia justru menjadi bumerang. Pariwisata sejati semestinya menjaga keberlanjutan bumi, memperkuat budaya, dan menyejahterakan masyarakat.
BACA JUGA: Ancaman Baru Rusaknya Atmosfer
Sejumlah nilai kearifan lokal mendukung harmoni sosial dan ekologis tersebut. Misalnya sesanti Hamemayu Hayuning Bawana di budaya Jawa, atau Tri Hita Kirana di Bali, Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh (Sunda), Sasi di Maluku hingga Alam Takambang Jadi Guru di Minangkabau, Sumatera Barat. Hampir semua budaya Nusantara memiliki “kearifan ekologis” yang diwariskan turun-temurun. Bedanya, ada yang eksplisit berupa aturan adat (seperti sasi di Maluku atau adat laot di Aceh), ada juga yang lebih filosofis (seperti Hamemayu Hayuning Bawana atau Alam Takambang Jadi Guru).
Karena itu, Indonesia harus berani menggeser orientasi dalam transformasi berkelanjutan di sektor pariwisata ini. Bagaimana caranya? Ada sejumlah langkah yang bisa ditempuh. Pertama, pariwisata rendah karbon perlu segera diterapkan. Transportasi ramah lingkungan, pemanfaatan energy baru terbarukan di hotel, serta pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular harus dijadikan standar, bukan sekadar slogan.
Kedua, masyarakat lokal mesti diposisikan sebagai aktor utama, bukan sekadar figuran. Desa wisata, UMKM, dan komunitas adat perlu mendapat akses pelatihan, literasi digital, hingga jaringan pasar global agar mereka mampu menjadi kurator pengalaman yang autentik dan berkelanjutan.
BACA JUGA: Jihad Lingkungan Aisyiyah di Pasar Tradisional
Ketiga, pembatasan kunjungan berdasarkan daya dukung tidak bisa dihindari. Borobudur atau Taman Nasional Komodo tidak boleh dikorbankan demi ambisi angka. Kualitas harus lebih penting daripada kuantitas. Di sinilah pentingnya pengembangan slow tourism atau deep and meaningful experience.
Dan keempat, edukasi wisatawan menjadi kunci. Tanpa perubahan perilaku pengunjung –mulai dari cara mereka membuang sampah, memilih produk lokal, hingga menghormati budaya setempat– transformasi hanya akan menjadi jargon.
Peran Daerah dan Kampus
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki peluang besar untuk menjadi laboratorium pariwisata berkelanjutan Indonesia. Dengan basis budaya dan pendidikan, Yogyakarta bisa memadukan riset, inovasi, dan praktik lapangan. Desa wisata di Sleman, Kulon Progo, Bantul dan Gunungkidul dapat tumbuh sebagai model community-based tourism, sementara kampus-kampus bisa memainkan peran sebagai pusat riset pariwisata hijau.
Tetapi ada tantangan yang jelas menghadang. Mulai dari ketergantungan pada pariwisata massal yang murah, lemahnya koordinasi pemangku kepentingan, hingga infrastruktur publik yang belum sepenuhnya ramah lingkungan. Ini semua masih menjadi batu sandungan serius.
BACA JUGA: Inspirasi dari Bekasi: Dana RW untuk Pengelolaan Sampah
Transformasi berkelanjutan dalam pariwisata bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Bali yang banjir adalah peringatan keras bahwa fondasi lama tidak lagi bisa dipertahankan. Indonesia harus belajar mengelola pariwisata dengan visi panjang: menyeimbangkan keuntungan ekonomi dengan kelestarian lingkungan, memberdayakan masyarakat lokal, serta menumbuhkan kesadaran wisatawan.
Seorang bijak Bali pernah berkata, “Pariwisata sejati adalah ketika tamu pulang bahagia, tuan rumah tetap sejahtera, dan alam tetap lestari.” Kalimat itu sejalan dengan visi UNWTO: menjadikan pariwisata jembatan antara investasi dan destinasi, antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan ekologis.
Sudah saatnya Indonesia membangun pariwisata yang berakar pada keberlanjutan yakni menyeimbangkan ekonomi, ekologi, dan keadilan sosial. Jika Indonesia berani menjadikan prinsip ini sebagai kompas, maka pariwisata kita tidak hanya akan bertahan menghadapi krisis iklim, tetapi juga memberi inspirasi bagi dunia. *
Erwan Widyarto, pemerhati lingkungan dan pariwisata.