OPINI: Sinergi Industri Pariwisata dengan Desa Wisata

ꦲꦼꦄꦣ꧀ꦭꦶꦤꦺ

Pendampingan Pemandu Lokal oleh asosiasi pemandu (HPI) anggota GIPI DIY kepada pemandu lokal Desa Wisata Wukirsari. (Foto: Erwan W)

OLEH: ERWAN WIDYARTO

Di tengah geliat pariwisata Indonesia, desa wisata kerap disebut sebagai lokomotif baru. Ia menghadirkan pengalaman otentik yang tak bisa digantikan hotel berbintang atau pusat perbelanjaan modern. Menyusuri sawah hijau, belajar membatik dari ibu-ibu desa, mencicipi kuliner khas yang diwariskan turun-temurun, hingga mendengar kisah rakyat yang jarang ditulis di buku sejarah.

Namun, seiring dengan pesatnya minat wisatawan, desa wisata menghadapi tantangan serius. Pertanyaannya: apakah desa sanggup berjalan sendiri, atau justru perlu bergandengan erat dengan industri pariwisata?

Jawabannya jelas: sinergi adalah kunci. Tanpa dukungan industri pariwisata—hotel, biro perjalanan, asosiasi, hingga platform digital—desa wisata mudah tersisih dari kompetisi global. Mari kita lihat beberapa tantangan nyata dan kemungkinan jalan keluar (solusi).

Menjawab Tantangan, Membangun Solusi

Pertama, soal pemasaran dan akses pasar. Banyak desa wisata telah memiliki atraksi unik, tetapi promosi mereka masih sebatas spanduk di gapura atau unggahan seadanya di media sosial. Akibatnya, wisatawan asing maupun domestik sering tidak tahu keberadaan mereka.

Industri pariwisata bisa hadir sebagai jembatan. Hotel dapat merekomendasikan paket desa wisata kepada tamu, agen perjalanan bisa menyelipkan kunjungan desa dalam itinerary, sementara platform digital membantu desa tampil dalam peta destinasi.

Kedua, kualitas layanan dan SDM.Hospitality bukan sekadar menyediakan tempat tidur atau menyuguhkan teh manis. Wisatawan modern menginginkan layanan yang ramah, bersih, aman, bahkan terstandar internasional. Banyak desa masih terbatas dalam hal pelatihan bahasa asing, manajemen usaha, dan digitalisasi.

Industri pariwisata dapat berperan lewat program pendampingan, sertifikasi, bahkan magang. Dengan begitu, warga desa tidak hanya menjadi penonton, tetapi pelaku profesional di tanah sendiri.

Ketiga, infrastruktur dan aksesibilitas.Tidak sedikit desa wisata terletak di wilayah indah namun sulit dijangkau. Jalan rusak, transportasi umum terbatas, jaringan internet lemah—semua itu menurunkan minat wisatawan.

Industri pariwisata, melalui kemitraan atau skema tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), dapat ikut memperbaiki akses, menyediakan transportasi shuttle, atau mendukung pembangunan fasilitas dasar. Pemerintah tentu berperan utama, tetapi sinergi dengan swasta mempercepat langkah.

Keempat, keberlanjutan dan daya dukung lingkungan. Desa wisata seringkali berada di lanskap ekologis rapuh: sawah, hutan, sungai. Tanpa manajemen yang bijak, pariwisata bisa berbalik merusak. Kita sudah belajar dari kasus overtourism di Bali atau sampah di destinasi populer lain. Desa wisata butuh standar pariwisata berkelanjutan: pengelolaan sampah terpadu, pembatasan jumlah kunjungan, hingga program konservasi berbasis komunitas.

Industri pariwisata bisa ikut menjaga dengan hanya memasarkan paket yang ramah lingkungan dan memberi insentif kepada desa yang konsisten menjaga kelestarian.

Kelima, penentuan USP (Unique Selling Point). Tidak semua desa harus menawarkan pengalaman sama: gamelan, batik, atau homestay sederhana. Setiap desa memiliki kekhasan. Namun, banyak desa masih bingung menentukan keunikan itu.

Industri pariwisata dapat membantu melalui riset pasar dan strategi branding. Hasilnya, satu desa bisa dikenal sebagai pusat kopi organik, desa lain unggul dalam wisata edukasi pertanian, sementara yang lain menonjolkan kearifan budaya ritual.

Keenam, tata kelola dan kelembagaan. Tak jarang konflik muncul di internal desa: antara kelompok sadar wisata (Pokdarwis), pemerintah desa, dan pelaku usaha.

Industri pariwisata dapat menjadi mitra yang mendorong transparansi dan model bisnis adil. MoU antara hotel dengan desa wisata misalnya, tidak hanya mengatur pembagian keuntungan, tetapi juga menegaskan komitmen pemberdayaan masyarakat lokal.

Sinergi adalah Strategi

Dari enam tantangan ini, kita melihat pola yang sama: desa wisata tak bisa sendirian. Sinergi dengan industri pariwisata bukan hanya soal transaksi bisnis, melainkan strategi untuk menumbuhkan ekosistem berkelanjutan.

Ketika hotel memajang produk UMKM lokal di lobi, ketika agen perjalanan menyertakan atraksi desa dalam paket, ketika restoran kota menyajikan kuliner desa—saat itulah rantai pasok lokal hidup, ekonomi warga bergerak, dan pariwisata benar-benar menjadi alat pemberdayaan.

Akhirnya, desa wisata adalah wajah Indonesia yang sesungguhnya: ramah, sederhana, namun kaya makna. Bila sinergi terjalin erat dengan industri pariwisata, desa tidak hanya akan menjadi penonton arus wisata global, tetapi justru pemain utama yang mengajarkan dunia tentang arti pariwisata yang berakar, lestari, dan menyejahterakan.*

Erwan Widyarto, Pendamping Desa Wisata, Anggota Tim Pokja Desa Wisata DIY.

ꦠꦶꦁꦒꦭ꧀ꦏꦤ꧀ꦧꦭꦱꦤ꧀

꧋ꦄꦭꦩꦠ꧀ꦌꦩꦻꦭ꧀ꦱꦩ꧀ꦥꦺꦪꦤ꧀ꦎꦫꦣꦶꦗꦺꦣꦸꦭ꧀ꦤꦺꦈꦠ꧀āꦮ꧀āꦣꦶꦏꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦺ꧉ ꧋ꦫꦺꦴꦱ꧀ꦱꦶꦁꦏꦸꦣꦸꦣꦶꦆꦱꦶāꦤ꧀āꦠꦤ꧀ꦝꦤꦺ *