Bencana Kemanusiaan, Menyerahkan Pendidikan kepada Mesin

Headline

Menkomdigi Meutia Hafidh berfoto bersama Prof Dr Siti Murtiningsih dan suamina, Wamen Komdigi Nezar Patria. (Foto: Erwan Widyarto)

YOGYA – Artificial Intelligent (kecerdasan artifisial) menjadi salah satu cara bagi manusia untuk membantu membentuk kecerdasan emosial dan mengembangkan cara berpikir kritis. Integrasi kecerdasan artifisial dalam pendidikan menawarkan cara-cara transformatif untuk menyampaikan materi pendidikan selama periode perubahan sosial dan budaya yang cepat.

Hal tersebut disampaikan Siti Murtiningsih dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Bidang Filsafat Pendidikan pada Fakultas Filsafat UGM di Balairung Gedung Pusat UGM, Kamis (20/2/2025). Pidato pengukuhannya berjudul “Mendidik Manusia Bersama Mesin: Filsafat Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan.”

Perempuan yang biasa disapa Titi ini menyampaikan bahwa artificial intelligence (AI) atau kecerdasan artifisial sebagai sebuah mesin dapat dimanfaatkan sebagai kolaborator manusia dalam dunia pendidikan.

Dalam acara yang dihadiri Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi)  Meutia Hafidh ini, Titi menguraikan teknologi memang memiliki peran sebagai alat bantu bagi para pendidik untuk meningkatkan kapasitas diri dan menyelesaikan tugas-tugas yang lebih kompleks. Artificial Intelligent (AI) dan otomatisasi teknologi, kata dia, mengubah secara dramatis dunia pendidikan saat ini.

Titi menggunakan kaca mata pedagogi kritis ala Paulo Freire seorang tokoh filsafat pendidikan untuk melihat masalah disrupsi teknologi. Dikatakan, satu tawaran dalam pedagogi kritis ini adalah menekankan kembali proyeksi pembelajaran kolektif.

Pembelajaran kolektif yang ia maksud adalah merancangkan keterlibatan AI agar mendorong interaksi yang lebih bermakna antara guru dan murid. “Interaksi inilah yang menjadi penting apabila melihat proses belajar mengajar. Guru dapat menanamkan harapan atau pengalaman dan perasaan yang nyata,“ paparnya.

Istri Wakil Menteri Komdigi, Nezar Patria ini menegaskan manusia tetap perlu hadir sebagai pendidik, sebab pendidikan tidak hanya harus menyampaikan pengetahuan, namun juga harus menumbuhkan empati, solidaritas, dan komitmen kolektif terhadap keadilan sosial dan ekologis.

“Mesin, dalam konteks pedagogi kritis, berperan sebagai kolaborator manusia dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang interaktif dan dialogis guna mengaktifkan harapan-harapan akan yang belum ada atau yang tampak mustahil ada,” tegas perempuan yang juga anggota Dewan Pendidikan DIY 2022-2027 ini.

Titi menekankan dua hal apabila membicarakan upaya-upaya mendidik manusia bersama mesin.

Pertama, subjek utama pendidikan itu adalah manusia. Kedua, entitas non-manusia seperti mesin dapat dilibatkan dalam proses pendidikan. Dua hal inilah yang membuka ruang-ruang eksplorasi baru tentang relasi manusia-nonmanusia.

Di balik semua kemajuan yang dihadirkan oleh kecerdasan artifisial di bidang pendidikan, ada beberapa tantangan yang menurut Titi tidak dapat dihindari dan perlu diperhatikan.

Tantangan-tantangan tersebut, yaitu kebutuhan pelatihan guru, etika penggunaan teknologi kercedasan buatan, privasi data, hingga masalah kesenjangan akses digital yang setara bagi semua siswa.

Perempuan yang saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Filsafat UGM ini mengawali pembahasan dengan refleksi tentang fiksi ilmiah yang kini menjadi kenyataan. Manusia semakin terhubung dengan kecerdasan buatan (AI). Contoh nyata adalah penggunaan robot dalam pendidikan di berbagai negara, yang memunculkan pertanyaan mendasar. 

Titi mendefinisikan pendidikan dan peran guru. Menurutnya pendidikan bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga melibatkan nilai-nilai.  

Ditegaskannya, dalam kajian filsafat pendidikan, pendidikan selalu terkait dengan pengetahuan dan nilai yang ditransmisikan oleh guru kepada murid. Titi juga mengungkapkan paradoks menarik tentang kapabilitas mesin. Menurutnya nilai kebenaran dan justifikasi untuk proposisi yang diyakini oleh seorang manusia dan proposisi yang dihasilkan oleh mesin itu sama saja.

“Klaim bahwa mesin tidak dapat memiliki pengetahuan hanya karena ia tidak dapat memiliki keyakinan sebenarnya adalah klaim yang sulit dipertahankan,” tegasnya.

Titi menuturkan dalam filsafat, pengetahuan didefinisikan sebagai keyakinan yang benar dan terjustifikasi. Namun, AI tidak memiliki keyakinan melainkan hanya mampu memproses data untuk menghasilkan output yang tampak bermakna.

Meskipun demikian, dari perspektif luar, proposisi yang dihasilkan AI tetap bisa bernilai benar atau salah. Selain itu, mesin tidak memiliki nilai secara intrinsik, tetapi bisa diprogram untuk mencerminkan nilai-nilai tertentu.

Meski demikian, AI tetap terbatas dalam memahami dan menginternalisasi nilai-nilai secara moral dan sosial, yang merupakan aspek penting dalam pendidikan.

Titi lantas menyampaikan kritik tajam terhadap ekstremisme dalam adopsi teknologi pendidikan.

“Menyerahkan pendidikan anak-anak kita sepenuhnya kepada mesin akan menjadi bencana bagi masa depan kemanusiaan kita. Kita layak cemas ketika melihat anak-anak banyak yang justru belajar banyak hal dari Youtube. Namun, menolak sama sekali keterlibatan mesin dalam proses pendidikan adalah sikap anakronis,” urainya.

Ada begitu banyak hal dari teknologi kecerdasan buatan yang dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan proses pendidikan. “Karenanya, daripada menolak atau membiarkan mesin mengambil alih proses pendidikan, kita sebaiknya mulai membayangkan bagaimana mendidik manusia bersama mesin,” tandasnya. (wid)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *