Beginilah (Homestay) Desa Wisata

Headline Wisata


Selandia Baru itu surga pariwisata. Begitu yang kita dengar dari banyak pihak. Dan itu benar adanya. Saya telah membuktikannya. Negara ini bersih dan teratur. Wisatawan benar-benar mendapat service excellence tidak hanya dari pemerintah, agen perjalanan wisata, tetapi juga dari masyarakat.

Di hari terakhir perjalanan wisata berkeliling Selandia Baru, pagi itu saya harus ke Bandara Auckland. Taksi yang sudah saya booking sebelumnya sudah menjemput di hotel. Hari masih pagi. Ketika saya mau berangkat, terjadi tragedi. Taksi terkunci dari dalam.

Saya agak panik karena kalau telat ke bandara, saya bisa ketinggalan pesawat. Berarti harus membeli tiket baru. Artinya harus keluar duit.

Sopir taksi juga tampak sibuk berusaha membuka pintu. Tapi tidak berhasil. Kemudian menghubungi pihak yang bisa membantu. Lewat handphone, dia kontak tukang kunci. Sepagi itu, tentu sulit mencari tukang kunci yang sudah buka.

Tapi, beberapa saat kemudian, meluncurlah tukang kunci dengan truk-nya. Alat yang diperlukan dia keluarkan. Dan langsung menuju di pintu taksi tempat sopir. Dengan sat-set sat set, grek…. pintu pun bisa terbuka.

Legalah hati saya. Begitu juga sopir taksi. Saya pun mendekati tukang kunci dan menanyakan berapa beaya yang harus kami bayar untuk jasanya. Saya membayangkan bisa sangat mahal karena telah menyelamatkan tiket pesawat tidak hangus…

Ternyata, tukang kunci di Auckland tidak seperti yang saya bayangkan. Dia menolak dibayar. Alasannya, “Anda adalah wisatawan. Kami harus melayani wisatawan seperti Anda agar nyaman berwisata di sini. Ini tanggung jawab kami karena kami hidup dari pariwisata. Dari tamu–tamu seperti Anda.“

Duerrr! Ini seperti geledek di siang bolong. Hospitality dari masyarakat yang luar biasa. Inilah Sadar Wisata yang sesungguhnya. Inilah responsible tourism. Yang sepertinya (masyarakat) kita masih jauh untuk menuju ke sana.

Bayangkan, jasa-nya benar-benar menjadi “penyelamat“ dan ada kesempatan “nuthuk“ dengan beaya mahal, tapi tukang kunci itu tidak melakukannya. Tidak memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan“. Bandingkan dengan kejadian parkir nuthuk, lesehan nuthuk yang sering muncul di tempat kita….

Di luar pengalaman-pengalaman unik seperti itu (yang waktu itu sudah saya tulis di Jawa Pos) saya akan menuliskan pengalaman lain. Pengalaman yang berhubungan dengan “desa wisata“ atau “homestay desa wisata.“

Ya. Salah satu experience yang tak terlupakan adalah paket menginap di rumah petani. Nama paketnya Farmstay. Tinggal bersama petani. Karena di Selandia Baru, petaninya ya petani biri-biri alias peternak. Lokasinya di Geraldine.

Saya tinggal di rumah Pak Scotdale. Ia hanya berdua dengan istrinya. Saat usia saya 30 tahun, usia Pak Scotdale sudah 68 tahun. Tapi dia punya 10 ribu lebih biri-biri. Yang diurusnya sendiri bersama anjing dan kudanya.

Saya sampai rumah Pak Scotdale sore hari. Ditempatkan dalam satu kamar yang bersih. Penuh dengan sketsa pemandangan/tempat wisata di Selandia Baru. Usai bebersih diri, saya pun diajak makan malam bersama pasangan suami-istri ini.

Kami santap masakan bikinan Ny Scotdale. Usai makan, tuan rumah pun bercerita. Cerita tentang anak-anak dan cucunya. Ada yang di Tasmania ada yang di Australia. Hanya saat tertentu saja mereka kumpul. Ny Scotdale selalu memberi hadiah buat cucu-nya saat bertemu. Hadiah tersebut dibuatnya sendiri.

Ny Scotdale sedang merajut pakaian untuk cucunya.

Saat bercerita itu, Ny Scotdale juga “nyambi“ merajut. Rajutan itulah yang akan diberikan sebagai hadiah untuk cucu-nya. Hadiah bisa berupa baju, boneka, topi dan lain-lain. Semua hasil rajutan sendiri.

Mereka juga bercerita keseharian di Geraldine. Misalnya untuk berkomunikasi dan ngobrol dengan “tetangga“ mereka menggunakan telepon. Mengingat yang disebt tetangga ini jaraknya bisa lima kilometer dari rumahnya. Atau kebiasaan saat pergi ke ibukota tanpa mengunci tempat tinggalnya.

Bayangkan kalau di tempat kita. Ditinggal pergi sebentar saja kalau rumah lupa dikunci…. Padahal kalau Pak Scotdale ke Ibukota itu bisa sehari, dua hari atau seminggu.

Interaksi dengan tuan rumah pada malam hari tersebut, dilanjut keesokan harinya. Begitu usai sarapan, saya diajak bermain kriket. Salah satu olahraga terpopuler di Selandia Baru. Memukul-mukul bola dengan palu kayu.

Sehabis bermain kriket, saya diajak “menggembala“ ribuan biri-biri. Saya ditunjukkan cara membawa rombongan biri-biri tersebut ke padang rumput yang rumputnya bisa dimakan rombongan hewan tesebut.

Saya dan Pak Scotdale naik traktor menuju satu petak dengan ribuan biri-biri. Pak Scotdale lantas turun dan membuka pagar menuju petak yang rumputnya masih segar. Lalu, suit….suittt…. Pak Scotdale bersiul. Dan sejurus kemudian anjing-anjing Pak Scotdale beraksi.

Anjing-anjing tersebut berlari ke sana-kemari menggiring biri-biri agar masuk ke petak yang pagarnya telah dibuka. Biri-biri pun berdesak-desakan, berlarian ke arah pagar yang pintunya telah dibuka. Begitu seterusnya.

Saya juga diajak turun dari traktor dan mendekat ke gerombolan biri-biri. Pak Scotdale pun mengabadikan berbagai aksi saya.

Duh, masalah pun muncul. Saat turun dan bergabung dengan biri-biri, jaket yang saya kenakan belepotan dengan lumpur. Padahal saya hanya membawa satu jaket. Maka, jaket harus di-laundry. Dan memang ada layanan laundry di paket Farmstay ini.

Masalahnya, “uang receh“ saya untuk bayar laundri gak ada. Tapi, jaket saya sudah terlanjur dicuci. Harus bayar dengan apa?

Saya pun ingat berbagai sketsa di kamar tidur yang saya tempati di rumah itu. Saya punya beberapa sketsa yang saya buat selama perjalanan dari Auckland, Rotoroa, Lake Tekapo hingga ke Geraldin ini. Maka, saya katakan, laundri jaket akan saya “bayar“ dengan sketsa saya.

Alhamdulillah, dengan senang hati keduanya setuju. Mereka katakan sketsa tersebut juga akan dipasang di kamar. Saya pun bisa lega meninggalkan Geraldine dengan sejuta kenangan indah. Mendapat experience dari tuan rumah yang luar biasa.

Menginap di rumah Keluarga Scotdale, mengajarkan banyak pengalaman hidup. Baik keseharian orang atau keluarga di “kampung“ Geraldine, bagaimana hubungan orangtua dengan anak dan nenek dengan cucunya, bagaimana mereka bekerja sebagai peternak, maupun budaya olahraga yang ada.

Hal semacam inilah yang semestinya juga bisa didapat saat kita live in di desa wisata. Atua menginap di homestay desa wisata. Interaksi pemilik homestay dengan tamu, memegang peran penting dalam mengenalkan kekayaan tradisi dan budaya desa wisata setempat. Sebagaimana yang selalu ditekankan oleh Gubernur DIY Hamengku Buwono X.

Saat ini, Yogyakarta memiliki banyak desa wisata. Bahkan punya desa wisata “Juara Dunia“. Maka seyogyanya, para pengelola desa wisata dan semua pihak yang bertanggung jawab dalam pengembangan pariwisata harus terus meningkatkan hospitality dan pelayanan prima. Tentu dibarengi dengan peningkatan kualitas produk desa wisata.

Kita bisa belajar di Selandia Baru yang menyadari bahwa hidup mereka dari Pariwisata. Pengalaman di atas, adalah pengalaman 28 tahun lalu. Waktu itu tahun 1997. Saya diundang NZ Tourism Board New Zealand Embassy – Jakarta, Indonesia untuk meliput pariwisata Selandia Baru.

Saya berkelana selama 13 hari lamanya. Dari Pulau Utara hingga Selatan. Dari Wellington, Auckland hingga Christchurch. Banyak atraksi wisata yang saya nikmati. Saya habiskan 20 rol foto isi 36. (Hanya yang tua yang paham 😀 ) (erwan widyarto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *