OPINI : Menjaga Pariwisata DIY melalui Kehalalan Kuliner

ꦲꦼꦄꦣ꧀ꦭꦶꦤꦺ

(Ilustrasi AI)

OLEH: ERWAN WIDYARTO

Yogyakarta selama ini dikenal sebagai destinasi wisata yang kaya akan budaya, sejarah, dan kuliner. Dari gudeg, bakpia, hingga angkringan, kota ini menawarkan pengalaman kuliner yang autentik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Namun, kasus viral penjualan bakso babi di Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, beberapa waktu lalu, kembali menegaskan bahwa kehalalan produk kuliner bukan sekadar persoalan agama, tetapi juga faktor penting dalam menjaga citra pariwisata.

Sekretaris Daerah DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti, menekankan bahwa pemerintah daerah memiliki aturan yang menjadi landasan hukum bagi pelaku usaha untuk menjamin kehalalan produk yang dijual. Menurutnya, informasi terkait kandungan makanan sudah seharusnya disampaikan secara jelas agar konsumen tidak merasa ditipu. “Seharusnya memang ada informasi terkait hal itu agar konsumen juga tidak dijerumuskan untuk hal-hal yang dilarang,” ungkapnya, menekankan pentingnya transparansi.

Peraturan ini bukan semata-mata membebani pelaku usaha. Sebaliknya, sertifikasi halal justru memberikan rasa aman bagi penjual maupun pembeli. Bagi konsumen, terutama wisatawan muslim, informasi yang jelas terkait kehalalan makanan menjadi indikator utama dalam memilih destinasi kuliner. Bagi pelaku usaha, sertifikasi halal dapat memperluas pasar, meningkatkan kepercayaan konsumen, dan mencegah risiko konflik atau kontroversi yang bisa merusak reputasi.

Program fasilitasi sertifikasi halal dari pemerintah, termasuk yang dijalankan oleh Pemda DIY melalui Dinas Koperasi dan UKM, atau dari Bank Indonesia yang dijalankan oleh GIPI DIY, menunjukkan komitmen serius untuk mendorong industri pariwisata halal. Inisiatif ini sejalan dengan tren global, di mana pariwisata halal menjadi segmen yang berkembang pesat.

Menurut laporan Global Muslim Travel Index (GMTI), jumlah wisatawan muslim dunia diperkirakan mencapai 230 juta pada 2025, dan mereka mencari destinasi yang menjamin keamanan, kenyamanan, dan kepatuhan terhadap prinsip halal, termasuk pada kuliner dan layanan wisata.

Bagi Yogyakarta, kuliner merupakan salah satu daya tarik utama yang mampu mendatangkan wisatawan. Namun daya tarik itu juga membawa tanggung jawab. Setiap restoran, warung, atau pedagang kaki lima harus menyadari bahwa ketidakjelasan informasi kandungan makanan dapat berdampak negatif, tidak hanya bagi pelaku usaha, tetapi juga bagi citra pariwisata DIY secara keseluruhan. Kasus di Solo, di mana ayam goreng non-halal memicu kontroversi, menjadi pelajaran penting bahwa transparansi adalah kunci untuk menjaga reputasi.

Sebagai pengurus Perkumpulan Pariwisata Halal Indonesia (PPHI) DIY, saya melihat bahwa penerapan standar halal secara konsisten akan memperkuat posisi Yogyakarta sebagai destinasi wisata ramah muslim. Wisatawan tidak hanya mencari pengalaman budaya atau hiburan, tetapi juga kepastian bahwa mereka dapat menikmati kuliner dengan tenang, tanpa khawatir akan kandungan yang bertentangan dengan prinsip agama. Dengan demikian, sertifikasi halal bukan sekadar formalitas, melainkan alat strategis untuk mengoptimalkan potensi pariwisata.

Selain meningkatkan kepercayaan wisatawan, penerapan pariwisata halal –sekarang disebut pariwisata ramah muslim–  juga mendorong pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas produk dan layanan. Misalnya, pedagang bakso atau gudeg akan lebih berhati-hati dalam memilih bahan baku, proses pengolahan, dan penyajian. Akibatnya, standar higienitas dan kualitas makanan secara keseluruhan ikut meningkat. Dampak positifnya, citra kuliner Yogyakarta semakin profesional dan terpercaya, dan ini tentu mendukung pertumbuhan sektor wisata secara berkelanjutan.

Lebih jauh, pariwisata ramah muslim bukan hanya soal makanan. Ini mencakup akomodasi, transportasi, pusat perbelanjaan, dan layanan pendukung lain yang memastikan kenyamanan bagi seluruh wisatawan. Dengan landasan hukum yang jelas dan dukungan pemerintah daerah, pelaku usaha memiliki panduan untuk menyesuaikan produk mereka. Transparansi dan kepatuhan bukan lagi pilihan, tetapi kewajiban moral dan strategis untuk menjaga kepercayaan wisatawan.

Kasus bakso babi di Bantul seharusnya menjadi momentum refleksi bagi seluruh pemangku kepentingan: pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Apakah kita siap menjadikan Yogyakarta bukan hanya destinasi budaya yang menarik, tetapi juga destinasi ramah muslim yang terpercaya? Dengan komitmen bersama, pelaksanaan pariwisata ramah muslim dapat meningkatkan daya saing Yogyakarta, memperluas pasar wisatawan, dan memperkuat citra sebagai kota yang inklusif, aman, dan nyaman untuk semua.

Akhirnya, transparansi, sertifikasi, dan kepatuhan terhadap prinsip halal bukan sekadar regulasi. Ia adalah investasi jangka panjang untuk membangun kepercayaan dan reputasi pariwisata Yogyakarta. Ketika kehalalan menjadi bagian dari strategi wisata, maka setiap pengunjung tidak hanya datang untuk menikmati pengalaman, tetapi juga kembali dengan rasa aman, puas, dan terinspirasi untuk kembali lagi.

Erwan Widyarto, pengurus GIPI dari unsur PPHI.

ꦠꦶꦁꦒꦭ꧀ꦏꦤ꧀ꦧꦭꦱꦤ꧀

꧋ꦄꦭꦩꦠ꧀ꦌꦩꦻꦭ꧀ꦱꦩ꧀ꦥꦺꦪꦤ꧀ꦎꦫꦣꦶꦗꦺꦣꦸꦭ꧀ꦤꦺꦈꦠ꧀āꦮ꧀āꦣꦶꦏꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦺ꧉ ꧋ꦫꦺꦴꦱ꧀ꦱꦶꦁꦏꦸꦣꦸꦣꦶꦆꦱꦶāꦤ꧀āꦠꦤ꧀ꦝꦤꦺ *