Eduwisata DIY: Tak Ada Model Pengelolaan, Belum Responsif terhadap Pasar

Uncategorized

Taman Pintar, salah satu destinasi eduwisata yang sangat diminati di Yogya. (Dok Taman Pintar)

Saat mengunjungi satu destinasi, wisatawan menginginkan bisa pulang membawa ‘memorable knowledge’ sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka. Inilah yang menjadi dasar berkembangnya pariwisata berbasis edukasi. Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi satu destinasi yang menangkap peluang tersebut dengan menyediakan banyak paket ‘study tour’.

Sayangnya, model pengelolaan pariwisata edukasi (eduwisata) di Yogyakarta belum tersedia baik dalam perencanaan maupun peraturan. Seperti dalam PERDA DIY No 1 Tahun 2012 – tentang RIPPARDA DIY 2012-2025. Hal tersebut membuat pengembangan pariwisata edukasi (eduwisata) belum bisa maksimal. Padahal selama ini, peluang mengembangkan eduwisata di Yogyakarta terbuka lebar.

Demikian benang merah yang disampaikan oleh Dr Ani Wijayanti M.M., M.MPar.,CHE saat menjadi narasumber Seminar Series Kepariwisataan ke-7 bertema Pariwisata Edukasi di Kota Yogyakarta: Antara Harapan dan Kenyataan.  Seminar ini diselenggarakan oleh Prodi S2/S3 Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana, UGM pada Selasa, (26/1). Sebagai penanggap hadir Prof. Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med.Sc, PhD dan moderator Dr. Dyah Mutiarin.

Ani menegaskan, pariwisata edukasi melibatkan dua tahap yaitu pengalaman kelas dan lapangan atau destinasi. Hal tersebut mencakup something to see, something to do, something to buy dan something to share’. “Dengan kata lain produk dari pariwisata pendidikan adalah keseluruhan pengalaman Pendidikan yang diperoleh wisatawan sebagai hasil dari pertemuan dengan masyarakat dan lingkungan di destinasi pariwisata,“ urai Ani.

Perempuan yang kini menjabat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Bina Sarana Informatika (BSI) Yogyakarta ini menambahkan bahwa pariwisata edukasi yang berkembang di DIY adalah Taman Pintar, Benteng Vredeberg, Keraton Yogyakarta dan Museum Biologi. Kendati demikian, Ani menyoroti adanya persoalan pengelolaan di antaranya: adanya gap antara permintaan dan penawaran, produk potensial belum dikelola secara optimal, proses pembelajaran dalam aktivitas wisata belum terwujud maksimal, dan belum responsif terhadap pasar dan produk yang existing dan potensial.

Prof. Kwartarini menanggapi pemaparan Ani dengan memberikan perspektif psikologi yang menekankan perlunya branding dalam setiap destinasi. Destinasi yang mengunggulkan pendidikan atau ilmu pengetahuan sebagai daya tarik harus dapat memunculkan ‘wow’ yang mengkoneksikan antara penasaran, keingintahuan dan ketakjuban.

Hal ini akan memberikan memori yang kuat dan tidak terlupakan oleh wisatawan. Pengelola destinasi, tegasnya, haruslah dapat mencari nilai keunikan dari destinasinya yang tidak sama dengan destinasi yang lain. Dengan keunikan tersebut kemudian diambil sebagai ‘branding’ dan ‘destination identity’.

Ditambahkan, pengalaman berwisata tidak dapat dibagikan secara utuh. Karena pengalaman dibangun dari cognitive, affective dan behaviour repertoire yang pasti berbeda antara satu wisatawan dengan wisatawan yang lain. “Oleh karena itu, pengelola harus mampu menghadirkan keunikan dan atraksi yang memorable bagi wisatawan. Hal ini seharusnya tidak sulit mengingat Indonesia memiliki 1.128 kelompok etnik, 700 bahasa dan dialek yang tersebar di 17.405 pulau,“ jelasnya.

Seminar Series Nasional Kepariwisataan ini adalah kegiatan rutin setiap dua minggu sekali diselenggarakan oleh Progam Studi Kajian Pariwisata SPS UGM. Seminar Series Nasional ketujuh ini diikuti oleh 155 peserta baik akademisi, praktisi, mahasiswa maupun masyarakat pemerhati pariwisata. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *