Sewaktu saya kecil di tahun 60-an, saya mengenal pasangan muda dari Sumatera Barat kuliah di IKIP. Lelakinya santun. “In de kost” di kampung Selokraman Kotagede dan sering memberikan pengajian untuk ibu-ibu di pendapa rumah kami di kampung Boharen, Kotagede.
Kamarnya berada di sisi timur pendapa rumah Selokraman tersebut.
Pasangan itu tinggal di rumah paman kami keluarga mbok cilik Nyai Maslichah –isteri almarhum KH Amir Selokraman. Rumah kami, walaupun beda kampung, tapi berdekatan. Bahkan satu deret dengan kediaman kedua paman kami H Abdul Kahar Mudzakkir dan Kyai H Amir.
Nyai Amir kakak beradik dengan Abdul Kahar Mudzakkir. Keduanya sepupu ayah kami, sedangkan Abdul Kahar juga sekaligus adik ipar karena menikah dengan adik kandung ayah.
Pasangan itu bernama Ahmad Syafii Maarif dengan isterinya Nurcholifah. Buya Syafii, begitu nama yang melekat di kemudian hari. Kalau bertemu dengan saya, sering mengenang tempat “kost”nya di Selokraman dan ketika memberikan pengajian di Pendapa Rumah Boharen.
Bisa jadi sikap humanis, pluralis, nasionalis namun juga religius itu sedikit banyak mendapatkan inspirasi dari titik kecil pengalaman hidupnya tinggal di Kotagede.
Hari jumat 27 Mei 2022 beliau pulang ke rumahNya.***